Showing posts with label cerpen. Show all posts
Showing posts with label cerpen. Show all posts

Tuesday, March 17, 2009

Jiwa Telah Pergi


Lelaki itu terkapar di ruang ICU. Ia tak sadarkan diri. Keluarganya di luar menunggu dengan pasrah. Mereka berdoa agar suatu keajaiban akan terjadi untuk menyelamatkannya. Dan bila keajaiban itu tidak tiba, mereka berharap agar Tuhan mau menerima jiwanya.

Aku mengamati wajah lelaki muda itu. Dari data pribadi pasien aku tahu bahwa ia tidak menikah. Ibunya yang tadi mengisi data-datanya dan menandatangani surat persetujuan keluarga. Ia berumur 38 tahun, berkulit sawo matang, bertubuh kekar. Wajahnya sangat rupawan, hidungnya tegak menggarisi wataknya. Sel kanker telah menyebar dalam tubuhnya, ia tak terselamatkan lagi. Namun wajahnya penuh kedamaian. Tak tampak bahwa ia mungkin sedang meregang nyawa.

Hampir dua puluh tahun yang lalu, aku melihatnya di kantin kampus di pinggir jalan Dipatiukur. Matanya sedang lekat menatap seorang perempuan muda yang duduk makan seorang diri di meja seberang. Perempuan itu berambut panjang hitam tebal, indah terurai. Rona cantik membayangi setiap gerak bibirnya yang sedang mengunyah. Tak lama, Ia sadar, bahwa seorang pria muda sedang mengamatinya dari meja seberang. Ia menjadi kagok dan malu-malu dalam menyantap mie ayam di mangkuknya, seakan-akan ia telah kenyang. Lelaki itu menatap jam dinding di tembok kantin yang kotor, kemudian bergegas keluar dan mengendarai motor bebeknya. Perempuan itu menatap sang lelaki pergi tanpa kata.

Hampir sembilan belas tahun yang lalu, aku melihat pria muda itu membawa wanita yang sama, ke rumah ibunya. Rona muda masih mewarnai pipinya: Aura feminin mencuat di setiap getar nada suaranya kala ia berbicara.
"Loh kok sekarang rambut kamu pendek? Mengapa kau potong rambut indahmu?" tanya ibunda lelaki muda.
"Baru kemaren potongnya, Tante. Rambut panjang bikin gerah, enak begini segar... suasana baru butuh gaya baru khan?!" jawabnya sambil tersenyum malu-malu.

Aku mengamati wajah sang pemuda yang sedang menatap wajah kekasihnya dengan penuh makna. Beribu kata cinta terucap dari sorot matanya yang membisu.

Hampir tujuh belas tahun yang lalu, kulihat pemuda itu patah arang. Ia tampak tak sanggup memunguti mimpinya yang berserakan di lantai. tak ada wanita yang sama yang dulu aku lihat, berada di sampingnya. Ia telah pergi, mengejar mimpi individualnya. Mimpi suasana barunya. Tidak ada wanita manapun di sampingnya. Tak pernah ada.

Aku kembali menatap pemuda di depanku yang tak lagi memiliki jiwa. Tubuhnya terbaring di atas seprai rumah sakit yang putih bersih tanpa noda. Tempat tidur itu baru dihuninya beberapa jam yang lalu. Tubuhnya masih hangat, tapi sepertinya jiwanya telah lama beralih dari raganya. Hadirkah dia di pemakamannya?


Paris 17-03-2009
Share: